Ketika Sekolah Menyalakan Harapan: Murid Kelas V Bikin Perangkat Surya dan Gerakkan Hemat Energi
Satu pagi biasa berubah jadi momen yang menyentuh: guru masuk kelas memakai rompi dan helm PLN, dan dari situ lahir aksi kecil yang kelak menggema — lampu kecil yang menyala, gagasan yang menyalakan kesadaran.
Dilaporkan dari lokasi: SD Negeri Sambiroto 02, bersama PLN UPDL Semarang sebagai mitra pembelajaran.
Pagi itu, suasana kelas V berbeda: gurunya tidak datang membawa buku teks sebagai benda suci. Ibu Chitra Sintarani, S.Pd., M.Pd., berambut sederhana namun penuh tekad, mengenakan rompi dan helm petugas listrik. Sekejap, tawa dan pertanyaan memenuhi ruang kelas—penasaran, lalu hening ketika topik bertumbuh menjadi persoalan nyata: tagihan listrik, sumber energi, masa depan bumi.
“Hari ini Ibu bukan hanya mengajar IPA. Ibu ingin kalian menjadi agen perubahan hemat energi.” — Chitra Sintarani
Dari situ, pembelajaran mendalam dilahirkan: bukan ceramah satu arah, melainkan rangkaian berlapis—flip classroom yang memberi bekal teoretis sehari sebelumnya, warm-up emosional untuk mengenali suasana murid, lalu praktik STEAM dan Project-Based Learning (PjBL) yang memaksa tangan bergerak dan kepala berpikir.
Proyek kecil, gema besar
Murid dibagi enam kelompok. Dengan panel surya mini, motor kecil, kabel, dan bahan bekas, mereka merakit mobil surya, mini-rumah berpanel, hingga kipas tenaga matahari. Tidak ada sulap — hanya akal, kerja tim, dan sinar matahari di halaman sekolah.
Ketika satu per satu alat diuji, ada momen hening sebelum ledakan kegembiraan: “Nyala, Bu!”—teriak anak-anak ketika lampu kecil itu menyala. Mereka melonjak, berpelukan sebentar, dan duduk kembali dengan wajah yang sama sekali berbeda: penuh harga diri.
“Aku berhasil.” — seruan polos yang mengubah pelajaran menjadi pengakuan diri.
PLN UPDL Semarang hadir bukan sebagai penceramah jauh, melainkan sebagai mitra dialogis. Petugas bertanya, menantang, mengajak anak memahami bahwa energi terbatas dan tanggung jawab itu nyata: jika tidak dimulai sekarang, siapa yang menjaga bumi?
Penilaian berubah: dari angka ke dampak
Penilaian di sini bukan soal benar-salah di lembar ujian, melainkan refleksi: anak-anak diminta menuliskan tindakan nyata yang dapat dilakukan di rumah—mematikan lampu, mencatat tagihan listrik, mengajak keluarga ikut hemat. Jawaban yang muncul sederhana namun menggetarkan: “Aku akan mematikan lampu saat pagi.” “Aku akan ajak keluarga hemat listrik.”
Pembelajaran berakhir bukan dengan rapor, melainkan rencana aksi: membuat stiker kampanye hemat energi, menempelkannya di rumah warga, dan merekam video singkat sebagai ajakan. Pengetahuan menjadi tindakan; kelas menjadi agen perubahan kecil yang berdampak.
Mengapa ini penting?
Di era serba digital dan cepat, mudah melupakan bahwa pendidikan paling mutakhir adalah yang mengajarkan manusia untuk peduli. Di Sambiroto, murid diajarkan bahwa sains punya wajah kemanusiaan: belajar tentang energi berujung pada cinta lingkungan dan tanggung jawab sosial.
“Pembelajaran ini bukan hanya meningkatkan nilai murid, tetapi membentuk karakter peduli lingkungan.” — Chitra Sintarani
Hasilnya tidak hanya lampu yang menyala; itu adalah mata yang terbuka, harapan yang tumbuh, dan kebiasaan kecil yang, jika dirawat, bisa menyelamatkan tagihan rumah dan, lebih penting lagi, menyelamatkan bumi.
Tonton rangkaian kegiatan lengkap dan bukti eksperimen di video:

0 Komentar