Pada momen paduan suara itu, yang paling tampak bukan teknik vokal semata, melainkan keberanian guru untuk memberi ruang pada warisan budaya. Tanpa gamelan, tanpa kostum, hanya suara—dan rasa. Penonton yang biasanya cepat bergeser ke ponsel, malam itu lebih memilih diam dan mendengarkan.
Lagu yang sederhana ini membawa dua hal sekaligus: ketenangan dan kebanggaan. Untuk generasi yang lahir bersama streaming dan algoritma, menonton penampilan seperti ini memberi kejutan—bahwa identitas bisa dipelihara tanpa harus jadi retro atau sekadar estetika di Instagram.
Bapak Ibu guru PGRI itu memilih pendekatan praktik—latihan berulang, pemahaman lirik, dan diskusi soal konteks budaya. Hasilnya bukan hanya suara yang rapi, tapi guru yang mengerti mengapa mereka menyanyikannya. Sebuah proses yang menyulap hafalan jadi pengalaman hidup.

0 Komentar