Banjarnegara, Jawa Tengah — Ruang siaran Ngobras: Ngobrol Update Seputar Pendidikan Bareng PGRI mendadak hening ketika video pendek ini diputar. Dalam video tersebut, seorang ibu berhenti bicara beberapa detik, berusaha menahan air mata.
“Saya enggak bisa baca, tapi tiap lihat dia rasanya ada cahaya di matanya yang saya enggak pernah lihat sebelumnya.”
Sartia, ibu dari seorang siswa bernama Aro, hidup dalam keterbatasan—tidak bisa membaca dan menulis. Namun setiap malam ia melihat putranya duduk di lantai, menulis cerita tanpa henti. Saat semua orang menganggap Aro biasa saja, Latifah Utami, S.Pd., guru dari PGRI Kabupaten Banjarnegara, melihat sesuatu yang berbeda.
Latifah tidak menjanjikan apa pun. Ia hanya membaca tulisan Aro, memberi buku, kemudian mengajak Aro bercerita lagi. Ia mengetik ulang semua tulisan Aro — satu demi satu. Hingga suatu hari, Aro pulang membawa sebuah buku berisi karyanya sendiri.
“Waktu itu saya menangis bukan karena sedih, tapi karena bangga,” kata Sartia dalam video itu.
Bagi Latifah, buku itu bukan sekadar proyek lomba. Ia adalah bukti bahwa bakat tidak selalu terlihat dari nilai akademik.
“Tugas guru adalah memberi panggung agar mereka menemukan jati dirinya.”
Potensi tidak pernah diam—ia hanya menunggu ada yang melihat. Dari sebuah desa sederhana lahirlah karya tulis yang menyala.
Bakat tidak selalu tampil di panggung besar. Kadang ia tumbuh diam-diam di buku tulis seorang anak, menunggu seorang guru yang peduli.

0 Komentar