Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ketidaksengajaan yang Mengubah Segalanya: Menemukan Bakat Ario

Di sebuah kelas SD negeri di Banjarnegara, jam pelajaran hampir selesai. Kertas tugas sudah terkumpul, beberapa anak mulai gelisah menunggu bel istirahat, dan kipas langit-langit berputar pelan seperti sedang malas bekerja. Di tengah suasana itu, Latifah Utami, S.Pd., duduk di meja guru sambil membuka satu per satu lembar tulisan murid-muridnya. Rutinitas biasa. Tidak ada ekspektasi apa pun.

Sampai sebuah tulisan membuatnya berhenti.

Namanya Ario. Anak ini tipe yang jarang bicara. Kalau diminta menjelaskan sesuatu, jawabannya sering pendek, bahkan kadang hanya anggukan. Ia bukan penghuni “barisan piala kelas”. Nilainya stabil, tapi tidak pernah menonjol—seolah ia hidup di zona invisibel: terlihat tapi tidak benar-benar diperhatikan.

Tapi kalimat pertamanya di lembar tugas itu membuat Latifah menegakkan punggung. Ada alur. Ada metafora. Ada keberanian memilih kata.

“Ini tulisan kamu sendiri?” tanya Latifah pelan.

Ario hanya mengangguk, tanpa ekspresi berlebihan. Seperti sedang menjawab pertanyaan sepele tentang warna spidol.

“Saya tahu, anak ini punya bakat.”

Begitu pengakuan Latifah ketika mengingat kembali momen itu. Ia tidak bisa menjelaskannya secara akademis. Ada sesuatu yang terasa “klik”. Nalurinya sebagai guru bekerja lebih cepat dari logika.

Hari itu, ia tidak memberikan pujian berlebihan. Yang ia berikan adalah ruang.

“Coba tulis versi lain. Bebas. Mau sedih, lucu, atau aneh juga nggak apa-apa,” katanya.

Ario datang keesokan harinya dengan cerita baru. Lalu besoknya lagi. Dan lagi. Tulisan-tulisannya berkembang pelan-pelan—seperti pintu kreativitas yang akhirnya dibuka dari dalam. Latifah mulai menyimpan karya Ario dalam map khusus, diam-diam, seperti menyimpan biji yang suatu hari akan tumbuh.

Beberapa bulan kemudian, kumpulan cerita itu berubah menjadi naskah buku. Latifah mengemas prosesnya menjadi video dan nekat mengirimkannya ke lomba konten kreatif tingkat provinsi. Ia tidak benar-benar berharap menang, tapi kejutan datang: videonya juara satu.

Bukan karena efek visual memukau, tapi karena cerita yang jujur.

“Prestasi itu tidak harus dengan nilai yang baik. Prestasi bisa muncul dari potensi apa pun yang dimiliki anak.”

Kalimat Latifah itu menempel di kepala. Kita terlalu sering memuja angka dan ranking, sampai lupa bahwa kelas adalah panggung yang seharusnya memberi kesempatan pada setiap anak. Tidak semua berbakat di matematika. Tidak semua jago presentasi. Ada yang menyimpan dunia seutuhnya di balik satu paragraf yang jernih.

Kisah Ario mengingatkan satu hal sederhana:

Guru hebat bukan yang membuat semua anak menjadi sama, tetapi yang menemukan apa yang membuat tiap anak berbeda.

Posting Komentar

0 Komentar