Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Solo, Sekolah Seni, dan Keberanian Berkarya

Di balik panggung PORSENIJAR 2025, nama Ahmad Saroji, S.Pd. mencuri perhatian. Ia meraih Juara 1 Menari Tunggal—prestasi yang tidak jatuh dari langit. Jalan panjangnya dimulai dari sebuah sekolah yang mungkin belum banyak orang tahu: SMK Negeri 8 Surakarta, sekolah seni yang dulu dikenal sebagai SMKI.

Saroji bukan sekadar pengajar. Ia alumni sekolah itu sendiri—lahir sebagai murid seni, lalu kembali sebagai guru tari. Ia sempat belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, lalu suatu hari, seperti lingkaran yang kembali menemukan titik awalnya, ia mengajar di tempat yang membesarkan bakatnya.

“Dulu saya belajar di sini. Sekarang saya kembali pulang,” ujarnya pelan, tetapi matanya berbicara banyak.

Solo menyediakan panggung—secara harfiah. Dari keraton, ruang latihan, panggung pentas, hingga event seni yang hampir terjadi setiap minggu. “Saking banyaknya acara, kadang bingung mau menonton yang mana. Semua gratis, semua terbuka,” kata Saroji sambil tertawa kecil.

Sebagai pendatang, ia justru bisa melihat sesuatu yang warga Solo kadang anggap biasa. Ia menyebut Solo sebagai kota budaya yang sinkron—pemerintah, sekolah seni, kampus, dan masyarakat berjalan dalam ritme yang sama. Bagi Saroji, inilah alasan mengapa seniman dari Solo selalu muncul dan tumbuh.

Di kelasnya, ia tidak hanya mengajarkan teknik tari. Ia mengajari murid-muridnya sebuah keberanian: menjadi diri sendiri melalui seni. Ia tahu bahwa stigma “seni tidak menjanjikan masa depan” masih sering muncul. Tapi ia punya jawabannya.

“Saya pernah pentas di luar kota, bahkan ke luar negeri. Seni membuka pintu yang tidak pernah saya bayangkan.”

Ia mengajarkan dua hal kepada siswanya: menjaga tradisi, dan berani beradaptasi dengan zaman. Media sosial menjadi panggung baru, dan tari tradisi tetap bisa hidup di sana.

Di PORSENIJAR 2025, tari tunggal kreasinya "Janma Aksatriya" bukan hanya gerakan—ia adalah cerita tentang jejak pendidikan, budaya, dan keberanian melangkah. Solo membentuk panggungnya. Saroji menyalakan apinya.

Dan murid-muridnya? Mereka belajar bahwa karya yang tulus selalu menemukan penonton.

Posting Komentar

0 Komentar