Banjarnegara—Di antara lereng hijau yang rawan longsor, hadir satu inovasi pembelajaran yang tidak hanya kontekstual, tetapi juga membumi. Guru informatika Novinda Dian Puspito, S.Pd. dari PGRI Banjarnegara memperkenalkan program etnosains bertajuk ESTE MANIS, akronim dari Ethno-science, Technology, Engineering, and Mathematics for Humanism. Konsep ini lahir dari kegelisahan sederhana: bagaimana membuat sains terasa dekat dan relevan bagi siswa yang hidup di daerah pegunungan dengan risiko bencana tanah longsor.
Dalam sesi bincang pendidikan bersama PGRI di Up Radio Semarang, Novinda menjelaskan bahwa pendekatan STEM murni sering kali terasa abstrak. Siswa diminta memahami rumus dan model, sementara realitas sehari-hari mereka adalah warna tanah, jenis tanaman, aliran air, serta suara retakan tanah di musim hujan. Di titik inilah etnosains bekerja sebagai jembatan: ia menghubungkan pengetahuan ilmiah dengan kearifan lokal yang sudah lama hidup dalam tradisi masyarakat.
“Kami ingin anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat setiap hari.”
Alih-alih memulai dari formula rumit, guru mengajak siswa mengamati kondisi lingkungan di sekitar mereka. Mereka membaca warna tanah, memetakan vegetasi, mencatat perubahan kontur, lalu mengaitkannya dengan konsep geologi, stabilitas lereng, dan mitigasi bencana. Dengan cara ini, sains tidak lagi turun dari langit, tetapi tumbuh dari tanah tempat mereka berpijak.
Dalam video edukatif “ESTE MANIS: Solusi Kesiapsiagaan Tanah Longsor”, tampak bagaimana siswa dilatih mengolah data lapangan, berdiskusi, dan menyusun rekomendasi sederhana bagi warga. Pembelajaran menjadi lebih hidup karena menyentuh tiga hal sekaligus: logika, empati, dan identitas mereka sebagai anak pegunungan.
Program seperti ini juga memberi pesan kuat kepada guru: inovasi tidak selalu harus berbasis perangkat canggih. Dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai “laboratorium alam”, guru dapat menghadirkan pengalaman belajar yang murah, relevan, dan berdampak jangka panjang. Dari lereng yang rawan longsor, lahir generasi yang lebih waspada, lebih ilmiah, dan lebih mencintai desanya sendiri.
ESTE MANIS akhirnya tidak hanya menjadi model pembelajaran berbasis kearifan lokal, tetapi juga ruang latihan kepekaan ekologis. Melalui pendekatan ini, siswa diajak menyadari bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar hafalan rumus, melainkan alat untuk merawat rumah mereka sendiri. Di ujungnya, ESTE MANIS menjahit harapan antara ilmu, keselamatan, dan kemanusiaan.

0 Komentar