ESTE MANIS: Etnosains yang Bikin Mitigasi Longsor Nyambung ke Hidup Siswa
Banjarnegara—Dari daerah perbukitan yang kerap diterpa hujan deras dan potensi tanah longsor, lahir satu inovasi pendidikan yang manis—secara harfiah dan maknawi. Guru informatika Novinda Dian Puspito, S.Pd. dari PGRI Banjarnegara memperkenalkan program pembelajaran berbasis etnosains bertajuk “ESTE MANIS”, singkatan dari Ethno-science, Technology, Engineering, and Mathematics for Humanism.
Dalam wawancaranya di Ngobrol Update Seputar Pendidikan bareng PGRI di Up Radio 98.5 FM Semarang, Novinda menceritakan bagaimana ide ini bermula dari refleksi sederhana di sekolah yang berada di lereng pegunungan. “Kami tahu ada pembelajaran STEM,” ujarnya, “tapi kalau ngomongin STEM saja, rasanya terlalu jauh. Ranah kognitif anak-anak kami belum sampai ke sana.”
Alih-alih memaksakan konsep yang abstrak, Novinda dan tim guru di sekolahnya mencoba mencari jembatan yang dekat dengan keseharian siswa. “Lalu kami menemukan etnosains,” lanjutnya, “yang menitikberatkan pada kearifan lokal. Dari situ kami berpikir, kenapa tidak mengaitkan pembelajaran dengan apa yang ada di sekitar anak-anak?”
Dari ide itulah, lahir istilah ESTE MANIS. Akronim yang sengaja dibuat ringan dan mudah diingat ini menjadi simbol pembelajaran yang dekat dengan budaya dan kehidupan masyarakat Banjarnegara.
“Kalau dengar ‘es teh manis’, orang langsung tersenyum. Harapannya konsep ini juga mudah diingat dan mudah diterapkan,” tutur Novinda sambil tertawa kecil.
Namun di balik nama yang terdengar ringan itu, tersimpan konsep ilmiah yang kuat. Pembelajaran ESTE MANIS menekankan integrasi antara sains dan kearifan lokal, sehingga siswa dapat memahami fenomena seperti tanah longsor bukan hanya dari rumus atau buku teks, tetapi dari lingkungan tempat mereka tinggal.
“Kami ingin anak-anak menyadari bahwa ilmu itu bukan sesuatu yang jauh. Ia ada di ladang, di hutan, di bukit tempat mereka bermain,” jelasnya.
Pendekatan etnosains ini bukan hanya memperkuat aspek akademik, tapi juga membangun identitas dan kebanggaan lokal siswa. Dengan metode yang kontekstual, mereka tak hanya belajar tentang geologi dan fisika tanah, tetapi juga tentang bagaimana leluhur mereka dulu hidup berdampingan dengan alam.
“ESTE MANIS bukan sekadar singkatan. Ia mengajarkan anak-anak kami untuk mencintai tanahnya, memahami risikonya, dan menjaga keberlanjutan hidupnya dengan ilmu.”
Program yang semula lahir dari rasa ingin tahu siswa tentang kondisi sekolah di perbukitan itu kini menjadi inspirasi baru di dunia pendidikan berbasis kearifan lokal. Di tangan guru-guru kreatif seperti Novinda, sains terasa tidak lagi kering, melainkan segar, manis, dan menyatu dengan kehidupan nyata.
0 Komentar