Suasana rapat koordinasi PGRI mendadak menghangat ketika isu tunjangan profesi guru disinggung. Bukan dengan kemarahan, tetapi dengan ketenangan yang justru membuat pesan itu terasa lebih keras daripada suara lantang mana pun. Para guru yang hadir mengangguk pelan, sebagian menunduk, dan sebagian lain memandang lurus ke layar monitor—seakan menemukan suara yang selama ini mereka simpan sendiri.
Di tengah pembahasan panjang mengenai persiapan kegiatan nasional, terselip satu pengingat penting: guru bukan sekadar pekerja teknis yang bisa dibebani aturan tanpa empati. Guru adalah manusia yang menanggung keluarga, merawat masa depan murid-murid, dan bertahan dalam tekanan ekonomi yang tidak selalu selaras dengan tugas mulia yang mereka emban.
“Tunjangan profesi jangan diakal-akali. Guru juga punya anak, punya istri. Jangan hanya kata-kata.”
Kutipan itu cepat menyebar di kalangan peserta rapat hingga media sosial. Bukan karena sensasional, tetapi karena jujur. Banyak guru yang merasakan hal sama—tugas bertambah, standar kian tinggi, tetapi kebijakan sering kali tidak berjalan seirama dengan kebutuhan nyata di lapangan. Kegaiban birokrasi membuat tunjangan profesi, yang seharusnya menjadi penghargaan, justru rawan menjadi beban tambahan.
Melalui pernyataan tersebut, pesan yang ingin ditegaskan sangat sederhana: perlakukan guru dengan layak. Jika generasi bangsa dititipkan kepada mereka, maka keadilan bukanlah permintaan berlebihan melainkan keharusan. Dari rapat itu, sebuah harapan kecil mengalir—bahwa suara guru akhirnya kembali terdengar dan didengar.

0 Komentar