Semarang, November 2025 • Menjelang peringatan Hari Guru dan ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sebuah nama mencuri perhatian publik pendidikan. Dewi Ratih Wulan Suci, S.Pd., guru seni budaya di SMP Negeri 6 Magelang, meraih juara pertama kategori menyanyi solo dalam ajang Pekan Olahraga, Seni dan Kreativitas Pembelajaran (Porsenijar) 2025. Prestasi itu hadir bukan dari persiapan yang panjang, melainkan dari keberanian untuk mengambil kesempatan dan memaknai seni sebagai bagian dari pendidikan karakter.
Dalam wawancara yang menyoroti perjalanan tokoh guru berprestasi, Dewi mengisahkan bahwa informasi lomba datang tiba-tiba, di tengah padatnya rutinitas mengajar dan persiapan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Alih-alih mundur, ia menjadikannya tantangan.
“Kalau guru berhenti belajar, bagaimana murid akan percaya bahwa belajar itu penting?” — ucapnya dalam sesi tersebut.
Penilaian berubah: dari angka ke dampak
Dewi memandang seni sebagai ruang aman bagi siswa untuk tumbuh. Dalam kegiatan belajar, ia kerap menggunakan musik dan lagu daerah untuk membantu siswa menghargai identitas budaya. Baginya, seni bukan sekadar hiburan; seni adalah jembatan antara emosional dan intelektual.
““Di kelas, saya lebih bangga melihat anak yang awalnya tidak berani bicara kemudian berani menyanyi beberapa baris, daripada nilai sempurna pada ujian,” — ujarnya.
Ia menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning). Siswa diminta memilih lagu yang mewakili perasaannya, lalu menganalisis makna lirik. Dari sana, Dewi mengajak mereka melihat hubungan antara emosi, kepercayaan diri, dan ekspresi. Ketika siswa berhasil menyanyikan satu bait tanpa gugup, ia menilai bukan hanya vokalnya, melainkan transformasi diri. Inilah yang ia sebut sebagai “indikator berdampak.”
“Aku berhasil.” — seruan polos yang mengubah pelajaran menjadi pengakuan diri.
Kalimat itu diucapkan oleh salah satu muridnya setelah berhasil tampil di depan kelas. Momen kecil itu menjadi refleksi bagi Dewi bahwa seni menyentuh ruang yang tidak bisa dijangkau angka: keberanian, penerimaan diri, dan rasa percaya diri. “Kalau murid sudah percaya bahwa ia mampu, guru tinggal mengarahkan,” tuturnya.
Dalam kompetisi, Dewi menggabungkan teknik vokal profesional—hasil pengalaman bertahun-tahun sebagai penyanyi acara pernikahan—dengan pembawaan lembut khas guru. Penonton dan juri terpikat bukan hanya oleh teknik, tetapi oleh ketenangan dan rasa tulus dalam interpretasinya.
Jejak Kemenangan
Setelah kemenangan ini, sekolah mulai menerima semakin banyak siswa yang ingin mengikuti ekstrakurikuler paduan suara. Dewi menyiapkan rencana tindak lanjut: membuka kelas apresiasi seni dan dokumentasi proses latihan sebagai portofolio belajar siswa. Kemenangan bukan akhir, melainkan pintu awal sinergi antara seni, karakter, dan prestasi akademik.
“Kalau mimpi guru saja dibatasi, bagaimana kita mengajak siswa bermimpi lebih tinggi?” kata Dewi menutup siaran. Ia membuktikan bahwa guru juga pembelajar, dan seni adalah ruang untuk menumbuhkan keberanian.

0 Komentar