Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sentralisasi Guru Menuju Keadilan Pendidikan Nasional

— Riuh tepuk tangan menggema di Auditorium Universitas PGRI Semarang lantai 7. Di tengah suasana serius Focus Group Discussion bertema “Rancangan Undang-Undang Sisdiknas dalam Perspektif Guru dan Dosen Indonesia”, satu pernyataan dari Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Atip Latifulhayat, S.H., LLM., Ph.D., membuat seluruh ruangan seolah berhenti sejenak—lalu meledak dalam sorak antusias.

Ia menegaskan bahwa pengelolaan guru akan dikembalikan ke pemerintah pusat, bukan sekadar sebagai kebijakan birokratis, tetapi langkah korektif untuk menata kembali pemerataan dan keadilan bagi tenaga pendidik di seluruh Indonesia.

“Kita ingin menciptakan sentralisasi yang efektif, bukan birokrasi baru yang membebani guru,” tegas Prof. Atip, disambut tepuk tangan panjang dari ratusan peserta FGD yang terdiri dari guru, dosen, pengurus PGRI, hingga pakar pendidikan.

“Selama Ini Menderita dalam Diam”

Setelah menjelaskan maksud kebijakan tersebut, suasana forum berubah cair ketika Prof. Atip menimpali reaksi peserta dengan kalimat yang membuat ruangan pecah oleh tawa dan empati:
“Kok antusias sekali? Jangan-jangan selama ini Bapak Ibu menderita dalam diam.”

Kalimat ringan itu seketika menjadi refleksi kolektif. Banyak guru di daerah memang menghadapi kesenjangan serius dalam pengangkatan, distribusi, dan pembinaan. Selama ini, pengelolaan tenaga pendidik bergantung pada mekanisme pemerintah daerah—yang tak jarang terhambat oleh faktor administratif atau ketimpangan formasi antarwilayah.

Efektivitas dan Pemerataan Jadi Arah Baru

Dalam presentasi bertajuk “Pengelolaan Guru (1)” yang terpampang di layar besar, Wamen menyoroti akar masalah klasik: bukan jumlah guru yang kurang, melainkan penyebarannya yang timpang. Sentralisasi pengelolaan dinilai sebagai solusi agar kebijakan karier, distribusi, dan pengangkatan guru berjalan lebih efisien dan adil.

“Daerah tetap punya peran, tapi data, formasi, dan distribusi akan diintegrasikan secara nasional agar lebih sinkron dan transparan,” jelasnya.

Langkah ini diharapkan menciptakan sistem yang tidak lagi tumpang tindih antara pusat dan daerah. Pemerintah daerah akan tetap terlibat dalam pelaksanaan teknis serta pembinaan harian, sedangkan kebijakan strategis dikendalikan pusat agar pemerataan benar-benar terjadi.

Kodifikasi Tiga Undang-Undang

Rancangan Undang-Undang Sisdiknas (RUU Sisdiknas) yang sedang dibahas bukan hanya pembaruan hukum, tetapi juga penyatuan tiga undang-undang utama: UU Sisdiknas 2003, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi.
Melalui kodifikasi ini, pemerintah berupaya membangun peta jalan pendidikan nasional yang lebih konsisten dan berkelanjutan.

“Kita ingin guru tidak hanya bekerja keras, tapi juga mendapat kepastian dalam karier, pelatihan, dan kesejahteraan,” tambah Prof. Atip, menegaskan arah kebijakan yang lebih berpihak kepada tenaga pendidik.

Ruang Akademik yang Penuh Emosi

FGD ini dipandu oleh Dr. Muhdi, S.H., M.Hum., Ketua PGRI Jawa Tengah sekaligus Wakil Ketua Komite III DPD RI. Hadir pula Dr. H. Abdul Fikri Faqih, M.M. dari Komisi X DPR RI dan Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. dari Dewan Pendidikan Tinggi PGRI Jawa Tengah.

Para peserta, sebagian besar guru dan akademisi, menilai wacana ini sebagai momentum reformasi struktural dalam tata kelola pendidikan nasional. Mereka melihat sentralisasi bukan sebagai ancaman terhadap otonomi daerah, melainkan kesempatan untuk menyeimbangkan kualitas pendidikan antarwilayah.

“Kalau kebijakan ini dijalankan dengan data yang valid dan sistem yang transparan, maka guru di pelosok pun bisa punya hak karier dan kesejahteraan yang sama dengan di kota besar,” ujar salah satu peserta FGD.

Dari Wacana Menuju Kolaborasi

Menutup forum yang berlangsung hingga siang, Prof. Atip mengajak seluruh pihak, terutama PGRI, untuk aktif terlibat dalam penyusunan pasal-pasal RUU Sisdiknas agar kebijakan yang lahir benar-benar berangkat dari suara lapangan.

“Kami tidak menolak aspirasi apa pun. Justru kami ingin semua masukan guru menjadi bagian dari formulasi kebijakan nasional,” ujarnya menutup sesi dengan senyum hangat.

Suara tepuk tangan kembali menggema—kali ini lebih panjang dan penuh keyakinan. Bagi para peserta, momen itu bukan sekadar tepukan tangan seremonial, melainkan tanda dimulainya babak baru tata kelola pendidikan nasional: dari kebijakan yang terfragmentasi menuju sistem yang lebih adil, efisien, dan berpihak pada guru Indonesia.

#RUUSisdiknas #PGRIJawaTengah #GuruIndonesia #SentralisasiGuru #FGDPendidikan #HGN2025 #HUTPGRI80 #ReformasiPendidikan

Posting Komentar

0 Komentar