Semarang — Wakil Ketua Komite I DPD RI sekaligus Ketua PGRI Jawa Tengah, Dr. Muhdi, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa perlindungan perempuan tidak boleh berhenti pada wacana. Hal tersebut ia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) nasional bertema “Menyingkap Beban Ganda dan Trauma: Eksplorasi Mendalam Kesehatan Mental Perempuan di Era Kontemporer” yang berlangsung di Kampus 4 Universitas PGRI Semarang, Minggu 7 Desember 2025.
FGD ini mempertemukan akademisi, psikolog, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurai persoalan kesehatan mental perempuan yang kian kompleks—mulai dari beban ganda, kekerasan domestik, tekanan digital, hingga trauma berlapis yang sering tak terdeteksi. Dalam forum tersebut, Dr. Muhdi menekankan bahwa ekosistem perlindungan perempuan harus bekerja dari tiga sisi: masyarakat, birokrasi, dan organisasi perempuan.
Perlindungan perempuan hanya akan kuat bila tiga unsur bergerak serempak: masyarakat yang berdaya, birokrasi yang berpihak, dan organisasi perempuan yang aktif mengedukasi serta mengadvokasi.
📷 Galeri Foto FGD (klik untuk membuka)
Pilihan foto menampilkan dinamika diskusi, interaksi peserta, dan suasana FGD di Kampus 4 Universitas PGRI Semarang.
“Masyarakatnya harus diberdayakan,” ujarnya. Menurutnya, pemberdayaan bukan hanya pelatihan atau pendampingan, tetapi juga perubahan cara pandang tentang posisi perempuan dalam keluarga dan ruang publik. Ia menegaskan bahwa tanpa kesadaran kolektif, perempuan akan terus menjadi pihak yang menanggung beban paling berat dari kekerasan, diskriminasi, dan tuntutan sosial.
Ia kemudian menyoroti unsur kedua: birokrasi. “Birokrasinya juga harus memastikan bahwa perlindungan perempuan itu menjadi prioritas,” tegasnya. Hal ini mencakup implementasi regulasi yang lebih tegas, percepatan layanan bagi korban, serta memastikan bahwa perangkat daerah memahami isu kesehatan mental sebagai bagian dari pembangunan manusia.
Unsur ketiga adalah organisasi perempuan. Dr. Muhdi menyebut organisasi perempuan sebagai aktor strategis dalam memperluas jangkauan edukasi publik. “Mereka harus terus lebih banyak melakukan upaya edukasi, sosialisasi, dan advokasi,” katanya. Menurutnya, organisasi perempuan memiliki kemampuan masuk ke ruang-ruang sosial yang tidak selalu dapat disentuh birokrasi.
Pernyataan ini memperkuat misi FGD untuk menghasilkan rekomendasi nyata terkait kebijakan kesehatan mental perempuan yang responsif gender. Forum ini juga menjadi momentum penguatan jejaring antarorganisasi untuk memastikan tidak ada perempuan yang dibiarkan menghadapi beban ganda dan trauma seorang diri.
📄 Materi Presentasi FGD (klik untuk membuka)
Materi lengkap FGD memuat paparan narasumber mengenai beban ganda, trauma, serta rekomendasi kebijakan kesehatan mental perempuan di era kontemporer.
Sebagai tindak lanjut, PGRI Jawa Tengah bersama mitra akademik dan komunitas akan merangkum seluruh masukan peserta menjadi dokumen advokasi yang akan dibawa ke tingkat provinsi dan nasional, khususnya melalui jalur DPD RI. Dr. Muhdi menutup diskusi dengan pesan bahwa perlindungan perempuan hanya dapat dicapai jika tiga unsur tersebut bergerak serempak.

0 Komentar