Suasana rapat koordinasi PGRI berubah hening seketika ketika kabar tentang dua guru dari Luwu Utara kembali dibahas. Bukan sekadar laporan, tetapi cerita tentang perjuangan manusia yang dihentikan tiba-tiba oleh vonis yang tidak adil, lalu dipulihkan kembali melalui keputusan Presiden Prabowo Subianto. Momen ini membuat banyak peserta rapat terdiam, menahan haru dan bangga pada saat yang sama.
“Terima kasih kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto yang telah merehabilitasi dua guru kami. Guru tidak pernah berniat melakukan korupsi atau melukai siapa pun.”
Rehabilitasi ini bukan sekadar pembebasan administratif, tetapi pemulihan martabat yang selama ini terasa hilang. PB PGRI menyambutnya dengan rasa syukur sekaligus harapan besar: tidak boleh ada lagi guru yang tersandung kasus serupa tanpa perlindungan hukum yang jelas. Inilah alasan mengapa dorongan terhadap Undang-Undang Perlindungan Guru kembali menguat.
Gelombang solidaritas pun mengalir. Para pengurus daerah, terutama dari wilayah timur, menyampaikan dukungan penuh dan komitmen untuk memperjuangkan martabat profesi guru secara kolektif. Mereka berharap momentum ini menjadi pengingat bahwa negara hadir, dan PGRI selalu berada di garis depan menjaga kehormatan pendidik.
Rapat itu akhirnya ditutup dengan tepuk tangan panjang—bukan untuk sebuah kemenangan, tetapi untuk harapan baru. Sebuah keyakinan bahwa keadilan masih mungkin, dan guru tidak pernah sendirian dalam perjuangan panjang menjaga keberlangsungan pendidikan Indonesia.

0 Komentar