Surakarta — Di sebuah gedung olahraga di Kota Bengawan, bunyi bola kecil yang memantul di meja terdengar berlapis-lapis seperti irama cepat yang tak putus. Di sana, kontingen tenis meja PORSENIJAR PGRI Jawa Tengah menggelar latihan bersama, memadukan keringat, tawa, dan sedikit rasa deg-degan menjelang laga tingkat nasional Bandung, 26–28 November 2025.
Di pinggir lapangan, Padmono, S.Pd., guru SD Negeri Beskalan yang bertugas sebagai official kontingen tenis meja PGRI Jawa Tengah, memantau satu per satu atlet. Sesekali ia menepuk bahu, memberi arahan singkat, atau sekadar mengingatkan untuk minum. “Anak-anak ini datang bukan hanya membawa nama sekolah, tapi juga harapan Jawa Tengah masing-masing,” ujarnya pelan.
“Target utama kami bukan sekadar medali. Kami ingin anak-anak pulang dengan rasa bangga karena sudah berjuang habis-habisan.”
— Padmono, S.Pd., Official Tenis Meja
Di salah satu meja, Fedyyanto, S.Pd. dari SMP Islam Al Hadi Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, melatih footwork cepat. Di meja lain, Deny Rachmad Santosa, S.Pd. dari SD Negeri 1 Mireng, Kabupaten Klaten, berlatih receive servis berkali-kali hingga kemejanya basah. Dari Kabupaten Wonogiri hadir dua guru SD, Wahyu Feby Yulianingsih, S.Pd. (SD Negeri Putuk) dan Annisa Nuur Fitriana, S.Pd. (SD Negeri 1 Tanggulangin) yang tampak saling menyemangati di sela-sela latihan.
Kota Surakarta sendiri mengirim dua nama yang tak asing lagi di jagat pendidikan kota budaya ini: Imma Candra Nirmala, S.Pd. dari SD Negeri Pajang 1 dan Geovanni Aria Wardana, S.Pd. dari SD Kristen Manahan. Mereka bukan atlet profesional, tetapi guru yang rela membagi waktu antara mengajar, menyiapkan perangkat pembelajaran, dan berlatih fisik.
Guru yang Berlatih
Di luar lapangan, banyak guru dan siswa yang mengirim pesan dukungan lewat gawai mereka. Ada yang mengunggah instastory, ada yang menulis doa di grup kelas. Bagi mereka, melihat guru tampil sebagai atlet adalah pengalaman baru: sosok yang biasanya berdiri di depan kelas, kini berlari, melompat, dan memutar badan mengejar bola.
“Anak-anak perlu melihat gurunya juga berjuang. Dari situ mereka belajar bahwa latihan, kalah, lalu bangkit lagi itu proses yang wajar.”
— salah satu anggota kontingen
Latihan di Surakarta ini bukan sekadar pemanasan jelang PORSENIJAR Nasional Tahun 2025. Di balik setiap smash dan blok, ada cerita tentang guru-guru yang terus belajar, meski usia dan jabatan sudah berubah. Ada juga pesan diam-diam untuk siswa dan orang tua: bahwa sekolah bukan hanya tempat menghafal rumus, tetapi ruang di mana mimpi bisa berlari sejauh mungkin — termasuk lewat sebuah bola kecil di atas meja pingpong.

0 Komentar