SEMARANG — Kamis pagi, 13 November 2025, halaman Gedung Guru PGRI Jawa Tengah terasa seperti jeda lembut di tengah hiruk-pikuk kota. Tidak ada dekorasi berlebihan, hanya deretan kursi sederhana, botol air mineral, dan orang-orang yang datang dengan hati yang jauh lebih besar dari langkah mereka. Di bawah bayangan gedung yang hijau-putih itu, kemanusiaan seolah menemukan tempatnya kembali.
Sejak pukul delapan, satu per satu guru, pegawai, dan warga memasuki area donor darah. Ada yang datang setelah mengantar anak sekolah. Ada yang masih mengenakan seragam mengajar. Semua hadir dengan alasan yang berbeda, tetapi tujuan yang sama: memberikan sesuatu yang mungkin tak pernah mereka lihat hasilnya secara langsung—setetes darah yang bisa mengubah nasib seseorang.
Di antara mereka, Dr. H. Muhdi, S.H., M.Hum., Ketua PGRI Jawa Tengah, berjalan pelan sambil menyalami para pendonor.
“Setetes darah itu tidak kecil. Untuk seseorang di luar sana, ini mungkin alasan tambahan untuk tetap hidup.”
Kalimat itu tidak diucapkan dengan dramatis. Justru ketenangannyalah yang membuatnya terasa dekat—seperti ajakan yang tidak memaksa, hanya mengingatkan.
Kegiatan donor darah ini menjadi bagian dari rangkaian HUT Ke-80 PGRI Jawa Tengah. Di ruang pemeriksaan tekanan darah, suara mesin tensi dan percakapan pendek menjadi latar harmoni yang unik. Tidak ada gemerlap panggung, tetapi ada banyak keberanian kecil: mereka yang baru pertama kali mencoba, mereka yang diam-diam takut jarum, dan mereka yang sudah rutin datang setiap tahun, seakan menulis ulang komitmen mereka pada kemanusiaan.
Mualip, S.Pd., M.M., Ketua Panitia HUT Ke-80, menegaskan hal itu.
“Ini bagian dari bakti sosial kita,” tuturnya.
Ia menyebutkan rangkaian kegiatan lain yang sedang berlangsung: penyaluran air bersih, kunjungan kepada mantan pengurus, hingga santunan untuk anak-anak yatim. Caranya menyebut kata kita menegaskan inti dari semuanya—gotong royong tidak pernah bisa dikerjakan sendirian.
Petugas PMI Jawa Tengah bekerja cepat dan hati-hati. Para pendonor duduk sambil menggenggam sebotol air mineral—gesture kecil yang selalu diulang, seperti ritual penyemangat sebelum jarum bekerja. Beberapa pendonor terlihat berbincang ringan, sebagian lain hanya diam, tetapi wajah mereka menunjukkan hal yang sama: perasaan bahwa tubuh mereka sedang melakukan sesuatu yang berguna. Sesuatu yang melampaui kata-kata.
Menjelang akhir kegiatan, panitia menyampaikan apresiasi singkat.
“Terima kasih kepada semua pendonor. Semoga apa yang teman-teman berikan hari ini menjadi manfaat bagi saudara-saudara kita,” ucapnya.
Tidak ada tepuk tangan panjang, tidak juga seremoni penutup. Hanya ucapan terima kasih yang jatuh tepat di tempatnya.
Di luar gedung, angin siang Semarang mengalir pelan, membawa pergi riuh kecil yang tersisa. Di balik itu semua, kegiatan hari ini meninggalkan pesan yang tetap: kebaikan tidak selalu muncul dengan suara besar. Kadang ia lahir dalam diam, mengalir perlahan dalam kantong darah, lalu menyelamatkan seseorang yang bahkan tak pernah kita temui.
Dan pada hari itu, PGRI Jawa Tengah memilih untuk menjadi bagian dari aliran harapan tersebut—sunyi, tulus, dan terasa sangat manusiawi.

0 Komentar