Di tengah hangatnya diskusi revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), suara tenang H. Widadi, S.H., Pembina PGRI Jawa Tengah, menambah dimensi reflektif dalam forum yang digelar di Auditorium Universitas PGRI Semarang, Rabu (22/10/2025). Pada menit 1:25:00 paparan video kegiatan, beliau menyampaikan pandangan pendek namun sarat makna:
“Perubahan undang-undang boleh terjadi, tetapi semangat guru dalam memanusiakan manusia tidak boleh bergeser.”
Ucapan itu menjadi jembatan antara tema besar kebijakan nasional dan nilai yang sejak awal dipegang teguh PGRI Jawa Tengah — menjaga marwah profesi guru sebagai penggerak kemajuan bangsa.
Dari Regulasi ke Pengabdian
Sebagai pembina yang lama bergiat dalam organisasi, Widadi menekankan bahwa setiap reformasi pendidikan harus berpijak pada kenyataan lapangan. Ia mengingatkan agar revisi Sisdiknas tidak hanya menata pasal, tetapi juga memperkuat dukungan bagi guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan.
Menurutnya, undang-undang yang baik adalah yang menumbuhkan ruang pengabdian, bukan sekadar menambah beban administrasi.
“Guru di pelosok pun harus merasakan manfaat dari kebijakan baru ini,” tuturnya dalam pernyataan tertulis yang disampaikan kepada panitia setelah sesi pembuka.
Sikap itu selaras dengan pesan Ketua PGRI Jawa Tengah Dr. Muhdi, S.H., M.Hum., bahwa pembahasan revisi Sisdiknas harus menempatkan guru sebagai subjek perubahan, bukan objek regulasi.
Menjaga Warisan dan Menyongsong Generasi Baru
Dalam forum yang juga dihadiri Prof. Atip Latipulhayat (Wamen Dikdasmen), Dr. Abdul Fikri Faqih (Anggota Komisi X DPR RI), dan Prof. Ravik Karsidi (Dewan Pendidikan Tinggi), Widadi memuji sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi profesi.
Ia menilai dialog semacam ini membuktikan bahwa PGRI Jawa Tengah tetap menjadi ruang tengah bagi pertukaran gagasan pendidikan.
“Kita mewarisi semangat pendiri PGRI, tapi harus menyampaikannya dengan cara baru. Teknologi hanya alat; nilai-nilai pengabdian adalah jiwa yang harus dijaga.”
Konsistensi dan Keteladanan
Ucapan Widadi sederhana tapi menancap: PGRI tidak boleh kehilangan jati diri di tengah arus perubahan kebijakan. Ia menutup dengan pesan bagi seluruh peserta FGD — dosen, kepala sekolah, dan pengurus cabang yang hadir secara langsung maupun daring — agar tetap berpijak pada semangat kebersamaan.
“Organisasi ini berdiri bukan untuk berpolitik, tetapi untuk memperjuangkan martabat guru. Itu kompas kita.”
Kata-kata itu menutup sesi sambutan, memberi nuansa moral sebelum diskusi teknis dimulai. Dua puluh tahun setelah lahirnya UU Sisdiknas 2003, pesan H. Widadi tetap terasa relevan: setiap perubahan regulasi pendidikan harus berakar pada cinta guru terhadap ilmu dan muridnya — karena di sanalah pendidikan menemukan maknanya yang paling sejati.

0 Komentar