Webinar internasional “Computational Thinking for Improving Deep Learning” yang digelar SLCC PGRI Jawa Tengah pada Rabu, 30 Juli 2025 pukul 19.15 WIB menghadirkan Prof. Dr. Masanori Fukui dari Mie University, Jepang. Memulai sesi pada menit 51:03, Fukui menautkan lonjakan AI, machine learning, dan deep learning dengan implikasi langsung bagi praktik pembelajaran di kelas.
Ia menjelaskan bahwa sistem deep learning bekerja seperti “kotak hitam”: guru dan siswa hanya bisa mengontrol input dan menilai output. Karena itu, kompetensi kunci bukan meniru mesin, melainkan memodelkan masalah, merumuskan prompt yang tepat, lalu mengevaluasi jawaban. “Problem first, AI next,” tegasnya—pendidik perlu mengubah fokus dari “bagaimana saya menyelesaikan” menjadi “bagaimana saya membuat AI menyelesaikan lalu saya menilai hasilnya”.
Untuk menguatkan pondasi, Fukui menggarisbawahi computational thinking (CT) sebagai cara berpikir praktis lintas mata pelajaran: dekomposisi (memecah persoalan), pengenalan pola, abstraksi, dan perancangan algoritma. Ia menunjukkan contoh aritmetika sederhana—harga apel, mangga, hingga variasi dengan nanas—untuk mendemonstrasikan transfer struktur masalah: ketika siswa memahami struktur, mereka lebih mudah menyelesaikan soal sejenis, bukan sekadar satu kasus.
Langkah kerja yang ditawarkan ringkas dan terukur: definisikan situasi masalah, bangun model dan prompt, delegasikan ke AI, lalu analisis-output untuk perbaikan model berikutnya. Menurutnya, pelatihan tradisional—pemahaman prosedur, hubungan langkah–jawaban—tetap esensial, namun kini harus dikombinasikan dengan literasi AI agar siswa siap menghadapi problem nyata yang kompleks.
Menutup paparan, Fukui membuka kesempatan studi lanjut ke Mie University—yang disebutnya ramah Muslim—seraya mendorong kolaborasi riset-pengajaran. Inti pesannya: guru memimpin perumusan masalah dan penilaian, sementara AI membantu proses pengolahan—sinergi yang membuat pembelajaran lebih dalam dan bermakna.
0 Komentar