Semarang, 15 Mei 2025 – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah menegaskan kesiapan satuan-satuan pendidikannya dalam menyambut kebijakan pemerintah terkait peluncuran program Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda Transformatif. Hal ini disampaikan oleh Ketua YPLP-DM PGRI Jawa Tengah, Mualif, S.Pd., M.M., dalam program Ngobrol Update Seputar Pendidikan Bareng PGRI yang disiarkan APRadio.
Dalam perbincangan tersebut, Mualif menyoroti bahwa hadirnya program Sekolah Rakyat yang menyasar anak-anak dari keluarga miskin berprestasi, serta konsep diasrama (boarding school), tidak seharusnya dilihat sebagai pesaing sekolah umum—termasuk sekolah-sekolah PGRI.
“Program ini justru membuka peluang kolaborasi. Sekolah PGRI tidak melihat Sekolah Rakyat sebagai kompetitor, melainkan mitra dalam mencerdaskan bangsa,” ungkapnya.
Mualif memaparkan bahwa saat ini terdapat 992 satuan pendidikan PGRI di Jawa Tengah dari berbagai jenjang, dengan total siswa mencapai hampir 36.000 orang. Meskipun beberapa sekolah mengalami penurunan kepercayaan publik, banyak pula yang berkembang pesat, bahkan menorehkan prestasi di level nasional hingga internasional.
“Salah satu SMA PGRI bahkan mengirim siswa ikut Olimpiade Matematika di Thailand,” tambahnya.
Ia juga menyentil isu keberlanjutan pendidikan nasional yang menurutnya terlalu sering mengalami perubahan istilah dan kebijakan saat berganti pemimpin. Hal tersebut, menurutnya, membuat arah pendidikan menjadi tidak konsisten.
“Ganti pemimpin, ganti istilah, substansi malah sering diabaikan. Kita butuh konsistensi arah kurikulum minimal untuk 5–50 tahun ke depan,” tegasnya.
Mengenai Sekolah Garuda Transformatif, Mualif menjelaskan bahwa program ini khusus untuk tingkat SMA dan dikelola oleh Kemendikbudristek, berbeda dari Sekolah Rakyat yang berada di bawah naungan Kementerian Sosial. Ia mendorong agar masyarakat memahami perbedaan konsep ini agar tidak menimbulkan bias pemahaman di lapangan.
Salah satu tantangan nyata yang diangkat adalah pengangkatan guru swasta menjadi P3K yang justru menimbulkan kekosongan tenaga pendidik di sekolah-sekolah PGRI. Ia berharap agar ada kebijakan yang memungkinkan guru P3K dapat kembali ditugaskan di sekolah asalnya.
“Kita sempat kerepotan. Kepala sekolah kami diangkat semua jadi P3K, sekolah jalan tapi tak ada nahkoda,” keluhnya.
Mualif menegaskan bahwa PGRI tetap membuka diri untuk bekerja sama dengan pemerintah di semua level. Ia juga menyerukan pentingnya kemitraan dan komunikasi antara sekolah dan orang tua siswa sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam mendidik anak bangsa.
“Kami hanya melanjutkan tugas orang tua selama anak berada di sekolah. Pendidikan adalah kerja bersama,” tutupnya.
Program Ngobras edisi kali ini ditutup dengan harapan bahwa pemerintah semakin memperhatikan kesejahteraan guru swasta dan mendorong regulasi yang adil dalam distribusi tenaga pendidik.
0 Komentar